Senin, 09 Desember 2013

“Pemberantasan Korupsi di Negara Kleptokrasi: Patah Tumbuh Hilang Berganti, Mati Satu Tumbuh seribu”

Itulah mungkin tema yg patut diangkat bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Sedunia hari ini, Senin 09-12-13. Negara demokrasi ini seperti menuju ke arah kleptokrasi. Itulah kondisi yang ada saat ini riil terjadi. Tentu tepat ungkapan di atas. Sebab, dengan mencermati realitas kekinian, saat ini kasus-kasus korupsi  di berbagai level begitu marak. Korupsi bukan hanya dilakukan oleh para pejabat negara di tingkat pusat hingga daerah, tetapi bahkan dipraktikkan secara sempurna oleh para wakil rakyat yang tentu merupakan pilar demokrasi di pusat hingga daerah. Bahkan, kasus terbaru adalah para ketua parpol menjadi dalang korupsi dan tersangkut dengan masalah ini.

Barangkali kleptokrasi masih asing di telinga pembaca Indonesia. Kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yang pada awalnya adalah kata klepto dan kratein. Klepto dalam bahasa Indonesia bisa dipadankan dengan maling sementara kratein tidak jauh berbeda dengan kata diperintah. Kratein biasanya mengacu kepada sebuah bentuk administrasi publik. Bila merujuk pada arti kata tersebut maka kleptokrasi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk administrasi publik yang menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri atau antek-anteknya. Hal ini tidak jauh dari praktik kronisme, korupsi, kolusi, nepotisme dan termasuk makelarisme.

Menurut Transparansi Internasional yang membuat peringkat negara-negara terkorup di dunia, tahun ini Indonesia menempati posisi ke-114 dari 177 negara. Sungguh suatu prestasi yang tidak buruk dalam hal keburukan, korupsi. Ada yang menyatakan bahwa korupsi sudah merupakan budaya di Indonesia. Oleh karena itu sulit untuk diberantas. Bahkan bangsa Indonesia ini seperti sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang termasuk tindak korupsi dan mana yang bukan. Kalau kita naik motor tanpa surat-surat yang lengkap, kemudian ada razia dan kita ditilang oleh polisi, seringkali kita mengajukan “damai” dengan polisi yang menilang kita. Dalam persepsi umum, tindakan melanggar hukum hanya ditujukan kepada para polisi yang melakukan pungli itu; tapi jarang sekali yang menuduh kita, para pengendara motor itu, yang melanggar dua kesalahan sekaligus: pertama, melanggar peraturan lalu lintas karena tidak memiliki surat-surat seperti SIM dan STNK, dan yang kedua menyuap polisi.

Indonesia menuju negara kleptokrasi atau negara yang nantinya akan diurus oleh para maling didorong oleh sistem demokrasi saat ini. Semua orang berhak mengajukan diri menjadi pemimpin (anggota DPR/DPRD, walikota, bupati, gubernur bahkan presiden) asalkan memiliki modal (uang) yang besar. Coba lihat saat ini proses pemilihan anggota DPR/DPRD yang membutuhkan banyak uang. Tidak hanya untuk setoran kepada partai yang akan mengusung mereka, juga karena tingginya biaya demokrasi itu sendiri seperti kampanye dan segala macamnya. Hal yang bukan menjadi rahasia lagi bahwa untuk menjadi seorang walikota atau bupati, seseorang harus mengeluarkan uang Rp. 5 Milyar sampai Rp. 10 Milyar. Atau seorang calon gubernur bisa mengeluarkan biaya sampai Rp. 30 Milyar atau lebih untuk membiayai kampanye dan juga membayar partai yang akan mengusungnya. Bila dihitung-hitung, gaji resmi yang diperoleh sebagai walikota/bupati atau gubernur tidak akan sebesar biaya untuk menjadi pejabat itu.

Lalu apa yang diharapkan untuk mengembalikan modal untuk menjadi pejabat itu? Tentu saja uang-uang tidak halal yang berasal dari proyek-proyek dari wilayah yang dikuasainya. Modusnya, pejabat yang bersangkutan melalui kaki tangannya mengatur berbagai proyek atau bahkan anggaran yang seharusnya untuk rakyat bisa dikerjakan oleh kroni-kroninya. Dengan demikian dia dengan leluasa meminta “jatah” dari proyek tersebut. Modus lain, tentu banyak hal licik yang bisa mereka lakukan. Bila dilihat lebih jauh, persoalan ketidakjujuran ini tidak dapat dilihat dari permukaan saja karena ini bukan persoalan sederhana, kita bisa melihat sudah terjadi pergeseran nilai di dalam masyarakat kita dalam cara memandang ketidakjujuran. Contohnya dalam dunia politik ini, bagaimana sistem pemilihan langsung yang mengeluarkan biaya besar bagi calon untuk menarik suara dari pemilih membuat ongkos yang besar. Karena ongkos politik yang semakin besar itu maka para politikus setelah menjabat masih berfikir untuk mengembalikan modal mereka sebelum menjabat. Akhirnya kleptokrasi pun tidak dapat dihindari kalau sistemnya masih seperti ini.

Sekiranya korupsi merupakan persoalan politik, untuk memberantasnya cukup diperlukan beberapa periode kepresidenan saja. Sekiranya korupsi merupakan persoalan sosial, untuk memberantasnya diperlukan waktu yang lebih lama, mungkin lima puluh tahun. Sekiranya korupsi merupakan persoalan budaya, untuk memberantasnya, seratus tahun belumlah cukup untuk mengubah budaya bangsa itu. Kita bisa bercermin pada Singapura, tetangga kita, yang peringkat korupsinya menurut Transparansi Internasional berbanding terbalik dengan Indonesia (menduduki posisi kelima terbersih dalam hal korupsi dari 177 negara). Semasa Lee Kwan Yuu menjadi perdana menteri (yang tentu saja bergaji besar, bandingkan gaji presiden Indonesia yang seringkali gajinya tidak lebih tinggi dari salah satu presiden direktur BUMN-nya) ke kantornya selalu membawa termos dari rumah. Artinya, untuk minum pun dia tidak menggunakan minuman yang disediakan negara. Mentalitas semacam inilah yang diperlukan oleh orang-orang kita, dalam posisi apa pun; yakni mentalitas menentang arus. Orang Jepang menamai spirit ini dengan istilah koinobori.

Tampaknya, inilah mentalitas yang perlu kita tanamkan dalam institusi-institusi (minimal pada diri kita masing-masing) pendidikan kita, spirit untuk menantang arus yang tidak dimiliki dalam budaya kita, spirit untuk tidak terjerumus dalam praktik kleptorasi. Bukankah praktik-praktik korupsi berawal dari sekolah? Awalnya, mereka dibiarkan oleh gurunya untuk menyontek, ngerpek, menyalin jawaban yang telah dipersiapkan sebelumnya ke lembar jawaban ujiannya. Begitupun ketika mereka kuliah di perguruan tinggi. Ketika lulus dan menduduki posisi jabatan tertentu, mereka tidak lagi memindahkan contekannya, melainkan memindahkan angka-angka dari kas negara atau publik yang notabene uang rakyat ke dalam rekening pribadinya. Malah ada yang memindahkannya ke rekening perempuan simpanannya. Kalau begini terus kapan korupsi ini mau dicabut sampai ke akar-akarnya? Yang terjadi malahan “Patah Tumbuh Hilang Berganti, Mati Satu Tumbuh Seribu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar