Senin, 09 Desember 2013

Terulangnya Tragedi Bintaro Jilid 2

Cerita sedih selalu datang bertamu di negara yang kaya ini. Baik kaya alamnya, kaya orang, kaya politiknya, kaya koruptornya.
Kehidupan Rakyat kecil bagi Iwan Fals merupakan suatu keadaan yang sangat "menarik" untuk ditampilkan dalam lirik lagunya, sebagai salah satu bukti kepeduliannya terhadap nasib mereka. Dengan demikian, wajar apabila sebagian besar lirik lagu Iwan berbicara tentang nasib rakyat kecil. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dalam lirik lagunya, rakyat kecil digambarkan sebagai kelompok tertindas, diasingkan, dan selalu menderita. Mereka memiliki cara dan gaya tersendiri untuk menunjukkan kebahagiaan dan usaha dalam menghadapi kerasnya kehidupan.
Satu hal yang menonjol dalam lirik lagu Iwan Fals tentang rakyat kecil dan kepedulian sosial adalah kepekaannya dalam menangkap suatu peristiwa untuk diabadikan dalam sebuah lagu.

Salah satunya adalah tragedi kecelakaan kereta api di daerah Bintaro yang menelan korban ratusan jiwa manusia, diabadikan lewat lirik lagu berjudul '1910'. Ungkapan dalam lirik lagu Iwan Fals dapat menjadi pelajaran dan bahan renungan kepada orang yang kebetulan tidak mengalami peristiwa tersebut. Salah satu yang menarik untuk dibicarakan adalah lirik lagu yang berjudul 1910, dimana lagu tersebut mengisyaratkan betapa mengerikannya tragedi masa silam tersebut. 
Insiden kecelakaan kereta rel listrik yang menabrak truk tanki di perlintasan Pondok Betung, Bintaro, Jakarta, Senin siang (9/12/2013) mengingatkan pada tempat kecelakaan kereta api yang terjadi pada tahun 1987 yang dinyatakan sebagai musibah kereta api terburuk dalam sejarah transportasi Indonesia.
Insiden kecelakaan kereta pada 19 Oktober 1987 itu sempat diabadikan dalam lagu oleh penyanyi Iwan Fals dengan judul 1910, yaitu angka tanggal dan bulan kejadian.
Pada kecelakaan tahun 1987 yang juga pada hari Senin itu, ratusan jiwa menjadi korban akibat dua kereta berlawanan arah saling beradu di jalur yang sama.
Dua buah kereta api yakni KA255 jurusan Rangkasbitung – Jakarta dan KA 220 cepat jurusan Tanahabang – Merak bertabrakan di dekat stasiun Sudimara, Bintaro. Peristiwa itu terjadi persis pada jam sibuk orang berangkat kantor, sehingga jumlah korban juga besar sangat besar yakni 153 orang tewas dan 300 orang luka-luka, di mana korban tewas seketika di lokasi mencapai 72 jiwa.


Iwan Fals - 1910


Apa kabar kereta yang terkapar di senin pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah
Air mata… air mata…


Belum usai peluit belum habis putaran roda
Aku dengar jerit dari Bintaro
Satu lagi catatan sejarah
Air mata… air mata…


Berdarahkan tuan yang duduk di belakang meja
Atau cukup hanya ucapkan belasungkawa aku bosan
Lalu terangkat semua beban dipundak


Semudah itukah luka-luka terobati
Nusantara, tangismu terdengar lagi
Nusantara, derita bila terhenti


Bilakah… bilakah…
Sembilan belas oktober tanah Jakarta berwarna merah
Meninggalkan tanya yang tak terjawab
Bangkai kereta lemparkan amarah
Air mata… air mata…


Oooh…
Nusantara langitmu saksi kelabu
Nusantara terdengar lagi tangismu
Ho.. ho… ho…


Nusantara kau simpan kisah kereta
Nusantara kabarkan marah sang duka

Saudaraku pergilah dengan tenang

Sebab luka sudah tak lagi panjang.


Peristiwa ini merupakan kecelakaan kereta api di daerah Bintaro, yang menelan korban ratusan jiwa manusia. Kereta tersebut merupakan rangkaian kereta kelas ekonomi sehingga sebagian besar penumpang yang menjadi korban adalah masyarakat yang termasuk golongan menengah ke bawah. Apabila tidak mengamati isi lirik lagunya, angka '1910' yang dijadikan judul akan diartikan sebagai angka tahun. Padalah angka '1910' tersebut mengandung arti tanggal 19, bulan 10 atau bulan Oktober karena peristiwa kecelakaan kereta api yang dituangkan lewat lirik lagu ini terjadi pada tanggal 19 Oktober.
Dalam bait pertama, frase 'hancurkan mimpi bawa kisah air mata', mengandung arti bahwa peristiwa ini mengejutkan semua pihak. Apalagi peristiwa tersebut menelan korban jiwa yang jumlahnya sangat banyak sehingga sampai dikatakan dengan 'tanah Jakarta berwarna merah'.
Pada saat itu, berdasarkan penyelidikan pihak yang berwenang, ternyata kecelakaan tersebut diakibatkan oleh kesalahan dalam menentukan waktu pemberangkatan. Penuangan tragedi kecelakaan kereta api ini tidak lepas dari pengamatan Iwan Fals untuk menyampaikan kritik dengan mengatakan 'berdarahkah tuan yang duduk di belakang meja', 'atau cukup hanya ucapkan bela sungkawa', 'aku bosan'.
Secara simbolis Iwan Fals mengatakan bahwa tragedi kecelakaan ini seharusnya menjadi cermin bagi pihak yang berkompeten (perusahaan kereta api) untuk memperbaiki pelayanannya.
Seperti lirik lagu Iwan Fals lain yang mengisahkan tentang rakyat kecil, terlihat adanya usaha untuk menjalin hubungan secara emosional kepada pembaca/pendengar melalui kata 'aku' dan 'saudaraku'. Hal ini dapat memberikan rangsangan sehingga lirik lagu tersebut seolah-olah merupakan suara hati dan jeritan pembaca sendiri dalam merasakan penderitaan akibat peristiwa tersebut. Dengan demikian, lirik lagu ini dapat memberikan suatu peringatan dan pelajaran kepada manusia agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi pada masa-masa yang akan datang. amin.

Sebagian dari tulisan diatas diambil dari buku 'Fals, Nyanyian di Tengah Kegelapan' celoteh 4 halaman 71 - 71 dan 78 - 80.


Semoga ini menjadi pelajaran bagi semua elemen perkeretaan, Pemerintah dan kita semua.

“Pemberantasan Korupsi di Negara Kleptokrasi: Patah Tumbuh Hilang Berganti, Mati Satu Tumbuh seribu”

Itulah mungkin tema yg patut diangkat bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Sedunia hari ini, Senin 09-12-13. Negara demokrasi ini seperti menuju ke arah kleptokrasi. Itulah kondisi yang ada saat ini riil terjadi. Tentu tepat ungkapan di atas. Sebab, dengan mencermati realitas kekinian, saat ini kasus-kasus korupsi  di berbagai level begitu marak. Korupsi bukan hanya dilakukan oleh para pejabat negara di tingkat pusat hingga daerah, tetapi bahkan dipraktikkan secara sempurna oleh para wakil rakyat yang tentu merupakan pilar demokrasi di pusat hingga daerah. Bahkan, kasus terbaru adalah para ketua parpol menjadi dalang korupsi dan tersangkut dengan masalah ini.

Barangkali kleptokrasi masih asing di telinga pembaca Indonesia. Kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yang pada awalnya adalah kata klepto dan kratein. Klepto dalam bahasa Indonesia bisa dipadankan dengan maling sementara kratein tidak jauh berbeda dengan kata diperintah. Kratein biasanya mengacu kepada sebuah bentuk administrasi publik. Bila merujuk pada arti kata tersebut maka kleptokrasi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk administrasi publik yang menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri atau antek-anteknya. Hal ini tidak jauh dari praktik kronisme, korupsi, kolusi, nepotisme dan termasuk makelarisme.

Menurut Transparansi Internasional yang membuat peringkat negara-negara terkorup di dunia, tahun ini Indonesia menempati posisi ke-114 dari 177 negara. Sungguh suatu prestasi yang tidak buruk dalam hal keburukan, korupsi. Ada yang menyatakan bahwa korupsi sudah merupakan budaya di Indonesia. Oleh karena itu sulit untuk diberantas. Bahkan bangsa Indonesia ini seperti sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang termasuk tindak korupsi dan mana yang bukan. Kalau kita naik motor tanpa surat-surat yang lengkap, kemudian ada razia dan kita ditilang oleh polisi, seringkali kita mengajukan “damai” dengan polisi yang menilang kita. Dalam persepsi umum, tindakan melanggar hukum hanya ditujukan kepada para polisi yang melakukan pungli itu; tapi jarang sekali yang menuduh kita, para pengendara motor itu, yang melanggar dua kesalahan sekaligus: pertama, melanggar peraturan lalu lintas karena tidak memiliki surat-surat seperti SIM dan STNK, dan yang kedua menyuap polisi.

Indonesia menuju negara kleptokrasi atau negara yang nantinya akan diurus oleh para maling didorong oleh sistem demokrasi saat ini. Semua orang berhak mengajukan diri menjadi pemimpin (anggota DPR/DPRD, walikota, bupati, gubernur bahkan presiden) asalkan memiliki modal (uang) yang besar. Coba lihat saat ini proses pemilihan anggota DPR/DPRD yang membutuhkan banyak uang. Tidak hanya untuk setoran kepada partai yang akan mengusung mereka, juga karena tingginya biaya demokrasi itu sendiri seperti kampanye dan segala macamnya. Hal yang bukan menjadi rahasia lagi bahwa untuk menjadi seorang walikota atau bupati, seseorang harus mengeluarkan uang Rp. 5 Milyar sampai Rp. 10 Milyar. Atau seorang calon gubernur bisa mengeluarkan biaya sampai Rp. 30 Milyar atau lebih untuk membiayai kampanye dan juga membayar partai yang akan mengusungnya. Bila dihitung-hitung, gaji resmi yang diperoleh sebagai walikota/bupati atau gubernur tidak akan sebesar biaya untuk menjadi pejabat itu.

Lalu apa yang diharapkan untuk mengembalikan modal untuk menjadi pejabat itu? Tentu saja uang-uang tidak halal yang berasal dari proyek-proyek dari wilayah yang dikuasainya. Modusnya, pejabat yang bersangkutan melalui kaki tangannya mengatur berbagai proyek atau bahkan anggaran yang seharusnya untuk rakyat bisa dikerjakan oleh kroni-kroninya. Dengan demikian dia dengan leluasa meminta “jatah” dari proyek tersebut. Modus lain, tentu banyak hal licik yang bisa mereka lakukan. Bila dilihat lebih jauh, persoalan ketidakjujuran ini tidak dapat dilihat dari permukaan saja karena ini bukan persoalan sederhana, kita bisa melihat sudah terjadi pergeseran nilai di dalam masyarakat kita dalam cara memandang ketidakjujuran. Contohnya dalam dunia politik ini, bagaimana sistem pemilihan langsung yang mengeluarkan biaya besar bagi calon untuk menarik suara dari pemilih membuat ongkos yang besar. Karena ongkos politik yang semakin besar itu maka para politikus setelah menjabat masih berfikir untuk mengembalikan modal mereka sebelum menjabat. Akhirnya kleptokrasi pun tidak dapat dihindari kalau sistemnya masih seperti ini.

Sekiranya korupsi merupakan persoalan politik, untuk memberantasnya cukup diperlukan beberapa periode kepresidenan saja. Sekiranya korupsi merupakan persoalan sosial, untuk memberantasnya diperlukan waktu yang lebih lama, mungkin lima puluh tahun. Sekiranya korupsi merupakan persoalan budaya, untuk memberantasnya, seratus tahun belumlah cukup untuk mengubah budaya bangsa itu. Kita bisa bercermin pada Singapura, tetangga kita, yang peringkat korupsinya menurut Transparansi Internasional berbanding terbalik dengan Indonesia (menduduki posisi kelima terbersih dalam hal korupsi dari 177 negara). Semasa Lee Kwan Yuu menjadi perdana menteri (yang tentu saja bergaji besar, bandingkan gaji presiden Indonesia yang seringkali gajinya tidak lebih tinggi dari salah satu presiden direktur BUMN-nya) ke kantornya selalu membawa termos dari rumah. Artinya, untuk minum pun dia tidak menggunakan minuman yang disediakan negara. Mentalitas semacam inilah yang diperlukan oleh orang-orang kita, dalam posisi apa pun; yakni mentalitas menentang arus. Orang Jepang menamai spirit ini dengan istilah koinobori.

Tampaknya, inilah mentalitas yang perlu kita tanamkan dalam institusi-institusi (minimal pada diri kita masing-masing) pendidikan kita, spirit untuk menantang arus yang tidak dimiliki dalam budaya kita, spirit untuk tidak terjerumus dalam praktik kleptorasi. Bukankah praktik-praktik korupsi berawal dari sekolah? Awalnya, mereka dibiarkan oleh gurunya untuk menyontek, ngerpek, menyalin jawaban yang telah dipersiapkan sebelumnya ke lembar jawaban ujiannya. Begitupun ketika mereka kuliah di perguruan tinggi. Ketika lulus dan menduduki posisi jabatan tertentu, mereka tidak lagi memindahkan contekannya, melainkan memindahkan angka-angka dari kas negara atau publik yang notabene uang rakyat ke dalam rekening pribadinya. Malah ada yang memindahkannya ke rekening perempuan simpanannya. Kalau begini terus kapan korupsi ini mau dicabut sampai ke akar-akarnya? Yang terjadi malahan “Patah Tumbuh Hilang Berganti, Mati Satu Tumbuh Seribu”.

Minggu, 08 Desember 2013

Lagu “Cublak-Cublak Suweng” yang Kaya Makna dan Filosofi Kehidupan






Cublak-cublak suweng, suwenge teng gelenter,mambu ketundhung gudel, pak empo lera-lere,sopo ngguyu ndhelikake, Sir-sir pong dele kopong,Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong.
Lagu dolanan anak-anak di Jawa, karya Sunan Giri (1442M) ini berisi syair ‘sanepo’ (simbol) yg sarat makna, tentang nilai-nilai keutamaan hidup manusia. 
Cublak-cublak suweng, Cublak Suweng artinya tempat Suweng. Suweng adalah anting perhiasan wanita Jawa. Cublak-cublak suweng, artinya ada tempat harta berharga, yaitu Suweng(Suwung, Sepi, Sejati) atau Harta Sejati.
Suwenge teng gelenter, Suwenge Teng Gelenter, artinya suweng berserakan. Harta Sejati itu berupa kebahagiaan sejati sebenarnya sudah ada berserakan di sekitar manusia.
Mambu ketundhung gudel, Mambu (baunya) Ketundhung (dituju) Gudel (anak Kerbau). Maknanya, banyak orang berusaha mencari harta sejati itu. Bahkan orang-orang bodoh (diibaratkan Gudel) mencari harta itu dengan penuh nafsu ego, korupsi dan keserakahan, tujuannya untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Pak empo lera-lere, Pak empo (bapak ompong) Lera-lere (menengok kanan kiri). Orang-orang bodoh itu mirip orang tua ompong yang kebingungan. Meskipun hartanya melimpah, ternyata itu harta palsu, bukan Harta Sejati atau kebahagiaan sejati. Mereka kebingungan karena dikuasai oleh hawa nafsu keserakahannya sendiri.
Sopo ngguyu ndhelikake, Sopo ngguyu (siapa tertawa) Ndhelikake (dia yg menyembunyikan). menggambarkan bahwa barang siapa bijaksana, dialah yang menemukan Tempat Harta Sejati atau kebahagian sejati. Dia adalah orang yang tersenyum-sumeleh dalam menjalani setiap keadaan hidup, sekalipun berada di tengah-tengah kehidupan orang-orang yang serakah.
Sir-sir pong dele kopong, Sir (hati nurani) pong dele kopong (kedelai kosong tanpa isi). Artinya di dalam hati nurani yang kosong. Maknanya bahwa untuk sampai kepada menemu Tempat Harta Sejati (Cublak Suweng) atau kebahagiaan sejati, orang harus melepaskan diri dari atribut kemelekatan pada harta benda duniawi, mengosongkan diri, tersenyum sumeleh,rendah hati, tidak merendahkan sesama, serta senantiasa memakai rasa dan mengasah tajam Sir-nya atau hati nuraninya.
Pesan moral lagu dolanan “Cublak Suweng” adalah:
“Untuk mencari harta kebahagiaan sejati janganlah manusia menuruti hawa nafsunya sendiri  atau serakah, tetapi semuanya kembalilah ke dalam hati nurani, sehingga harta kebahagiaan itu bisa meluber melimpah menjadi berkah bagi siapa saja ”.Karya Waliyulloh Sunan Giri (1442M)

"Kenapa Saya Baru Bikin Blog"

Hi my name is Ahmad Faizin Alma..But you can call me Faiz..H.h.h.h.h just kid..Ok, That's all..
Daripada ntar dikira gaya gayaan atau malah malu ketauan pake Javanese English, mending pake basa Bumi Pertiwi saja lah, maklum Toefl gak nyampe gopek, H.h.h
Jujur ini tulisan pertama saya, bikin blog juga baru 2 jam yang lalu, kalo dipikir pikir kemana aja ya saya selama ini -_-''
Udah lama juga sih tau blog, lumayan sering juga baca Blog punya orang, dapet info-info bagus, nambah pengetahuan baru pasti nya. Bahkan saya sampe heran, hal yang saya tau bernilai maksimal 100, tapi teman-teman blogger selalu bisa nemuin angka ke-101 dan seterusnya. Kalo dipikir pikir lagi kemana aja ya saya selama ini -_-''
Yang paling saya sesali dari "kenapa saya baru bikin blog", lumayan kan blog bisa jadi salah satu infrasturktur bagi mahasiswa yang pengen IPK 4,00. Syukur-syukur kalo bisa buat sharing mata kuliah sesama Fighter 4,00(sebutan saya untuk mahasiswa yang terobsesi sama IPK 4,00), atau mentok-mentoknya buat contekan pas ujian, H.h.h sedikit sentuhan pengalaman pribadi (Proffesional OnlyDon't Try This).
Bakat nulis gak punya, darah (keluarga) penulis apalagi, terakhir nulis seingat saya tadi sore pas balas sms adik saya (sms nulis juga kan), jadi intinya nulis di blog modal nekat saja lah, gak nyari populer populeran, bukan artis juga, ada yang suka ya syukur, yang suka saya doain nantinya cepet masuk surga, yang gak suka ya tetep saya doain masuk surga juga tapi mampir-mampir dulu lah, enak aja mau cepet lha wong situ ndak suka blog saya, H.h.h.h.h. just kid
Ok mas Bro dan mbak bro, I'm really newbie here, butuh pencerahan dari ente ente yang ilmunya udah tingkat dewa, H.h.h.h.h.Yang jelas saya masih menyesal sampai sekarang, "kenapa saya baru bikin blog"......!!!